SEJARAH REBANA
Rebana lebih sering kita jumpai sebagai salah satu alat musik pengiring alunan syair-syair shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Alat musik ini umumnya terbuat dari kulit kambing dengan bahan baku umumnya kayu nangka ini punya sejarah yang amat panjang.
Di abad ke-6, masyarakat Anshor Madinah menggunakan rebana sebagai musik pengiring penyambutan kedatangan Baginda Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari kota Makkah. Yang pada waktu itu mereka menyambut dengan qasidah “Thaala’al Badru” yang sampai saat ini juga sering di pakai jika penyambutan terhadap seseorang.
Di dalam konteks dakwah, rebana di gunakan alat dakwah ampuh melalui bidang kesenian oleh ulama’ penyebar islam terdahulu untuk merangkul masyarakaat Indonesia yang kebanyakan menyukai kesenian musik, di mana di dalam kesenian rebana tersebut berisi syair-syair memuji Rasulullah SAW dan nasehat/pesan agama,
sekitar abad 13 Hijriah, seorang ulama besar dari Hadhramaut Yaman, beliau datang ke Indonesia dalam misi berdakwah menyebarkan agama Islam. Dalam dakwahnya beliau membawa semacam kesenian dari arab berupa qasidah yang juga di iringi alat musik rebana. Beliau yang juga pengarang kitab mauild “Shimthud Duror” yang berisi kisah perjalanan Rasulullah SAW yang sering kita baca selama ini. Sampai akhirnya majelis sholawat beliau berkembang di kalangan masyarakat sekitar.
Dengan berjalanya waktu, majelis tersebut berkembang hingga ke seluruh Kalimantan,sumatra dan jawa, bahkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia ini terdapat majelis Sholawat yang pada pembacaan qasidah biasanya di iringi dengan rebana
Di kota besar hingga desa pelosok tidak sulit rasanya untuk menemukan tradisi kesenian yang juga peninggalan “‘Wali Songo” ini, Sampai saat ini kesenian rebana telah akrab dengan masyarakat pecinta Shalawat dan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan bahkan menjadi alat music yang tidak pernah di tinggalkan dalam pengiringan pembacaan Sholawat dan Maulid Nabi Muhammad SAW.